Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 29 Mei 2013

Terjebak

Oleh : Felicia Wulandari - grade 8

 “Aku tak terpikir akan menjadi begini...,” kataku sambil melihat jendela kapal selam.
“Tentu saja tidak! Siapa kira ada gurita raksasa di sini,” teriak temanku, Kate. Aku terus memandangi gurita raksasa itu mengejar kami. Cepat atau lambat, jika tidak terjadi keajaiban, kami akan mati di sini dimakan gurita itu

Empat jam yang lalu aku sedang meneliti seekor Blue Whale yang terdampar di pantai. Sekarang aku terjebak di dalam kapal selam yang akan dimakan gurita. Mari kuceritakan kisahku yang menggemparkan ini.

Aku adalah salah seorang peneliti fauna-fauna laut di Amerika Selatan. Sekarang aku berada di salah satu pantai di sana. Seperti yang kukatakan, empat jam yang lalu aku sedang meneliti seekor paus, Blue Whale di pantai. Paus itu sudah mati terdampar beberapa jam yang lalu. Kami belum bisa memindahkannya karena tidak memiliki alat dan juga karena ukuran paus itu. Paus itu panjangnya lebih dari 10 meter dan beratnya lebih dari 5 ton. Aku sedang membuat laporanku ketika rekan kerjaku, Kate datang berlarian ke arahku sambil mengayun-ayunkan papan tulis kecilnya. “Berita bagus! Kita diperbolehkan meminjam kapal selam!”. Kate terlihat sangat bersemangat. Sebuah senyum jelas-jelas terlihat di mukanya. “Kita akan berangkat dalam 15 menit. Temui aku di gedung itu, ok?” “Baiklah.” Lalu Kate berjalan pergi menuju gedung itu, sedangkan aku kembali ke mobil yang kami kendarai untuk mengambil tas kecilku. Aku melihat jam tanganku yang menunjukkan jam 11 kurang 10 menit. Lalu aku bergegas ke gedung yang ditunjuk Kate tadi.

Gedung itu terlihat tidak terlalu besar dari luar. Aku berjalan memasuki gedung itu dan betapa terkejutnya aku. Ternyata ada lorong menuju laut, tepatnya ke dasar laut. Aku mencari-cari wajah Kate di tengah-tengah kerumunan orang dan aku menemukannya. Ia sedang berbicara dengan seorang laki-laki memakai kemeja dan celana panjang putih. Ia memegang topi yang biasanya digunakan marinir di tangan kirinya. Kate lalu mengalihkan pandangannya ke arahku. “Chris, laki-laki inilah yang akan mengantar kita ke dasar laut. Perkenalkan, John – Christine. Christine – John.” “Senang bertemu denganmu.” kataku sambil menjabat tangannya. “Senang bertemu denganmu juga.” balasnya.

Kami lalu menelusuri lorong itu. Lorong terbuat dari kaca dan kami dapat melihat ikan-ikan berenang mondar mandir. Terlihat juga terumbu karang yang sangat besar bersama dengan ikan-ikan kecil yang mengelilinginya.
 Kami berbincang-bincang dan tak terasa kami tiba di sebuah ruangan besar berbentuk seperti bola. Kapal-kapal selam dengan berbagai ukuran, warna, dan bentuk berjejer dengan rapi. “Kita akan menaiki kapal itu.” kata John sambil menunjuk sebuah kapal selam berukuran sedang berwarna abu-abu. Kapal itu mengkilau dibawah sinar lampu.

Kami memasuki kapal selam itu dengan perlahan dan hati-hati. Seorang laki-laki dan perempuan duduk dengan tenang. Laki-laki itu sedang menulis di sebuah buku dan perempuan itu membacanya. Mereka lalu sadar bahwa ada orang yang masuk ke kapal selam itu dan memandang kami. “Maaf telah membuat anda menunggu. Mari kita berangkat,” kata John.
Kami memilih untuk duduk berhadapan dengan laki-laki dan perempuan itu. Kami berkenalan. Ternyata mereka adalah Eleanor dan Ben, sepasang suami istri yang memberikan hidupnya untuk melindungi fauna-fauna laut. Eleanor sering berkampanye di jalanan, sedangkan Ben pernah menulis buku tentang fauna-fauna laut. “Aku pernah membaca buku anda. Buku itu kuletakkan di rak untuk buku-buku favoritku,” Kataku. “Oh benarkah? Terimakasih,” balas Ben. Pipinya agak memerah.

 Perjalanan itu tidak membosankan. Sambil melihat ikan-ikan berkeliaran, kami sambil bertukar pengetahuan. Setiap ada ikan lewat, kami mecoba untuk menebak nama binatang itu. Ternyata pengetahuan mereka cukup luas. Sementara itu, John terus mengarahkan kapal selam itu menuju dasar laut. Semakin lama, hewan yang lewat semakin sedikit dan laut bertambah gelap. Cahaya matahari tidak bisa menembus lagi. Cahaya yang kami dapatkan hanya berasal dari lampu di kapal selam itu. Tiba-tiba, kapal selam itu berhenti. “Kawan-kawan, sepertinya ada gua di depan kami. Apa kalian ingin masuk atau kembali ke permukaan?” Kami berhenti sejenak untuk berpikir. “Yah... Aku terserah kalian saja,” kataku. “Masuk saja! Kita akan meninggalkan tempat ini besok, dan kita belum tentu kembali ke tempat ini lagi.” kata Kate bersemangat. Ben dan Eleanor mengangguk. Kapal selam bergerak lambat menuju gua itu. John berusaha untuk mengarahkan kapal itu agar tidak menabrak apa pun.

Gua itu gelap gulita dan kami hanya mengandalkan cahaya dari kapal selam itu. Tak ada apa-apa di gua itu selain batu. Kami memutuskan untuk keluar dari gua itu. Tiba-tiba aku melihat sesuatu bergerak di kegelapan. Aku mendapat gambaran sekilas tentang makhluk yang berkeliaran di kegelapan itu. Bentuknya seperti tentakel gurita, tetapi jauh lebih besar dari biasanya. “Uhm.... Sebaiknya kita keluar dari gua ini secepatnya,” kataku sambil berusaha mencari makhluk itu. “Ya. Aku akan memutarbalikkan kapalnya.” Kata John. Suaranya agak gemetar.

 Ia perlahan-lahan memutar balikkan kapalnya dan segera menginjak pedal gas. Kapal selam itu berjalan dan kami dapat melihat mulut gua. Tiba-tiba, kapal selam itu berhenti dan tak mau maju. John menginjak pedal gas lebih keras lagi. Mesin kapal itu bekerja tapi tak mau jalan.  “Apa yang terjadi John?” tanya Ben. “Aku tak tahu. Mesinnya bekerja dengan normal.... Sepertinya ada sesuatu yang menarik kapal ini,” jawab John. Tiba-tiba, Eleanor berteriak histeris. Kami langsung memandangnya. Eleanor memegang pipa besi di belakangnya dan matanya terus tertuju ke arah jendela kapal selam tadi.  Saat itulah aku melihar mata besar memandangi kami. Aku sendiri terkejut dan hampir jatuh. “Tentakel... aku melihat tentakel...dan mata.... besar sekali,” kata Eleanor dengan nada ketakutan. “John, bawa kami pergi dari sini sekarang!” perintah Kate. Dia sendiri terlihat ketakutan. “Aku sedang berusaha..... Tak bisa!” kata john sambil memukul setir kapal selam itu. “Apa kapal selam ini mempunyai senjata?” tanyaku. “Kapal selam ini tidak dibuat untuk bertempur. Jadi aku hanya punya 2 buah misil di belakang.” Jawab John.

Aku lari ke belakang kapal itu dan aku melihat 2 misil tergeletak di dalam sebuah kotak. Misil itu lebih berat dari yang kuperkirakan. “Bantu aku!” perintahku. Ben lalu membantuku mengangkat misil itu dan memasukkannya dalam sebuah tabung. “John! Cepat tembakkan misilnya ke dalam gua itu!” teriakku. Misil itu diluncurkan ke dalam gua tadi dan terdengar ledakan. Tentakel-tentakel yang meliliti kapal selam tadi segera ditarik kembali ke arah gua itu dan kapal selam tadi segera meluncur meninggalkan gua tadi. “Cepat! Cepat!” teriak Kate. Sambil menyetir kapal selam itu, John mengirim sinyal SOS, tapi ia tahu akan membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di lokasi mereka sekarang.

Aku terus memperhatikan gua itu dari jendela kapal selam. Tiba-tiba, satu per satu tentakel keluar dan akhirnya muncul kepala monster itu. Seperti dugaanku, itu adalah gurita raksasa. Tapi, walaupun jenisnya adalah gurita raksasa, ukurannnya lebih besar dari biasanya. Panjangnya kurang lebih 9 meter dan beratnya bisa mencapai 350 kg. Apa yang akan terjadi jika gurita itu berhasil menangkap kapal selam ini?
Gurita itu melihat kapal selam kami dan segera mengejar kami. “Uh.... sebaiknya kita pergi lebih cepat. Gurita itu tidak terlihat senang...” kataku. “Sedang kucoba,”kata John. “Aku tak terpikir akan menjadi begini...,” kataku sambil melihat jendela kapal selam. “Tentu saja tidak! Siapa kira ada gurita raksasa di sini,” teriak temanku, Kate. Aku terus memandangi gurita raksasa itu mengejar kami. Cepat atau lambat, jika tidak terjadi keajaiban, kami akan mati di sini dimakan gurita itu.

Gurita itu lebih cepat dari yang kuperkirakan. Dalam beberapa menit, gurita itu sudah dekat, sangat dekat. Dengan tentakelnya, ia terus berusaha untuk menagkap kapal kami.

Tiba-tiba kapal selam kami bergetar dan berhenti. Aku dan Kate tersentak ke depan dan jatuh. Lalu, terdengar jeritan Eleanor lagi dan diikuti suara benda keras menghantam besi. Eleanor pingsan. Ben segera menggendongnya dan meletakkanya di kursi dengan hati-hati. Kate berdiri lebih dahulu dan menyodorkan tangannya. Aku menangkap tangannya dan ia bantu aku berdiri. Aku menghampiri salah satu jendela kapal selam dan kulihat sebuah mata menatapku dengan tajam. Tentakel-tentakelnya berhasil menangkap kapal selam kami.

Kapal selam kami tersentak ke belakang lagi. Gurita itu menarik kami ke arahnya sambil membuka mulut yag mirip dengan paruh burung. Kate dan Ben terus memperhatikan gurita itu. Kate menggigit kukunya, menandakan dia sangat kawatir. Aku berjalan mondar mandir hingga aku melihat misil yang tersisa tadi tergeletak di lantai. Aku segera mengangkat  misil itu dan memasukkannya ke dalam tabung. “John, arahkan misil itu ke dalam mulutnya,”. Tepat di depan mulut gurita yang terbuka itu, John menembakkan misil. Tetapi, seakan-akan gurita itu bisa membaca pikiran kami, ia mengayunkan kapal selam kami dan misil itu meluncur ke sebuah tumpukan batu besar dan runtuh.

Tiba-tiba, kapal selam kami dilempar oleh gurita itu. Kami semua terpental ke belakang. John yang tadinya duduk tergeletak di lantai. Bingung dan kaget, aku berusaha melihat apa yang terjadi melalui jendela kapal selam. “Apa yang terjadi Christ?” tanya Kate sambil memegang kepalanya menahan kesakitan. Sepertinya kepalanya telah terbentur dinding kapal selam. “Aku.... tak bisa menjelaskan,” kataku tanpa mengalihkan perhatian. Kate berjalan sempoyongan menuju jendela. Wajah terkejut terpasang di mukanya, diikuti dengan senyuman. “Tentu saja! Gurita itu kanibal! Jika satu gurita memasuki daerah kekuasaan gurita lainnya, mereka akan bertengkar. Tumpukan batu yang tadi runtuh pasti rumah gurita itu,”katanya. Ia lalu memutarbalikkan badannya dan berjalan menuju John. John masil tergeletak di lantai. Ia pingsan. “John! Bangun! John!! Bangun!!” teriak Kate sambil menggoyang-goyangkan tubuh John. “Huh?” “John! Cepat bawa kami pergi!”. Kate membantu John berdiri dan membantingnya di kursi kemudi. Ia meletakkan tangan John di setir. Setengah sadar, John menginjak pedal gas. Kapal selam itu melaju dengan cepat meninggalkan 2 gurita raksasa itu bertarung.
 Aku menghela nafas lega dan membanting tubuhku di kursi. Sudah selesai. Semua sudah selesai dan kita selamat. Kate duduk disebelahku dan menatapku dengan senyum. Aku mengalihkan pandanganku ke John. Sepertinya ia sudah sadar walaupun aku yakin ia masih bingung tentang apa yang telah terjadi. Aku mengalihkan pandanganku lagi, kali ini ke arah sepasang suami istri.  Walaupun suasana tegang sudah pergi, Ben tetap terlihat kawatir. Eleanor belum juga sadar. Aku menghampirinya. “Bagaimana keadaannya?” tanyaku sambil memegang tangannya. “Dia hanya shock... Jadi seharusnya ia sadar sebentar lagi...”. Tiba-tiba, Eleanor mengangkat tangannya dan memegang kepalanya. “Apa yang terjadi...?” tanya Eleanor. Ia lalu mengingat tentang gurita itu. Matanya terbuka lebar dan berdiri. “Gurita! Ben, kita akan mati dimakan gurita! Bagaimana ini?” kata Eleanor. “Eleanor...” Ben meletakkan tangannya di pundak Eleanor dan memeluknya. “Waktu kamu pingsan.... aku tidak bisa menjelaskan.. Pokoknya... gurita itu sudah.... tidak ada di sini. Kita akan kembali dengan selamat,”kata Ben. “Benarkah? Syukurlah.” Jawab Eleanor.

Kami kembali duduk. Kali ini tidak ada perbincangan. Suasana di kapal selam hening. Ben terus memegang tangan Eleanor. Kate melamun sambil terus memperhatikan jendela. Tak lama, John memecahkan keheningan itu. “Oh tidak... Bahan bakarnya hampir habis!”kata John. “Apa? Lalu bagaimana caranya kita kembali? Ada yang membawa HP?” tanya Kate. “Baterai habis.” Jawabku sambil memegang iphoneku. “HP kami ada di mobil kami.” Jawab Eleanor. Kate lalu menatap John, tapi ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
 “Kapal selam kami sudah dekat pantai. Jika kita ke permukaan dan meminta bantuan... mungkin masih ada harapan.” kata John. John mengarahkan kapal selam kami ke permukaan. Ia lalu membuka pintu yang ada di atas kapal selam. John yang pertama keluar, lalu Kate, dan terakhir aku. Eleanor dan Ben tetap berada di kapal selam. Ternyata waktu begitu cepat berlalu. Setengah dari matahari sudah di telan laut. Aku melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 5. “Nah sekarang.... Bagaimana kita mencari perhatian?” tanya John. “Kurasa itu tak perlu.”kataku sambil melihat sebuah kapal berukuran sedang melaju ke arah kami. John dan Kate mengayunkan tangannya. Aku pun mengikuti mereka.

Kapal itu berhenti tepat di depan kapal selam kami. “Kalian sepertinya butuh bantuan. Cepat naik kapalku.” Kata seorang pria berkumis. Kami berhati-hati menaiki kapal itu. Kapal itu melaju cepat ke pantai. “Bagaimana anda tau bahwa kami butuh bantuan?” tanya Ben. “Aku tahu kapal selam tak seharusnya menuju permukaan. Seharusnya mereka berhenti di ruangan berbentuk bola itu dan ruangan itu ada di dasar laut. Jadi aku tahu kalian punya masalah.” Kata pria itu sambil menunjuk ke laut, tepatnya ke arah ‘pelabuhan’ itu. Ternyata kapal selam kami masih cukup jauh dari ‘pelabuhan’ itu.

Perlahan, kami turun dari kapal itu. John kembali ke gedung tadi untuk minta bantuan mengambil kapal selamnya. Eleanor dan Ben mengucapkan selamat tinggal dan kembali ke hotel mereka. “Di mana kita akan istirahat malam ini?”tanyaku. “Di motel itu.” Jawab Kate sambil menunjuk ke sebuah gedung kecil.
Kamar kami tak terlalu besar, tetapi nyaman. Kami mandi dan mempersiapkan diri untuk tidur. “ Jadi?” tanya Kate tiba-tiba. “Jadi apa?” aku kembali bertanya. “Bagaimana menurutmu hari ini?” “Hari ini? Yah gimana ya... menyenangkan sekaligus menakutkan. Aku juga mendapat pelajaran penting.” “Apa?” “Kalau kapal selam itu pembawa kematian.” Jawabku singkat

END

0 komentar:

Posting Komentar